PERHUTANAN SOSIAL RAKYAT BERDAULAT DALAM PENGELOLAAB HUTAN
PENGAKUAN PETANI KENDAL
Kami menyambut dengan antusias Peraturan Menteri No 39 thn 2017 yg mengatur hutan sosial diwilah Perhutani. Ungkapan jujur itu disampaikan seorang ketua kelompok tani dari Kecamatan Patean kabupaten Kendal ketika bertemu dengan Menteri Siti Nurbaya awal pekan lalu.
Selama ini kami menggarap tanah untuk menanam bawang selalu di oyak-oyak sama mandor. Kami ditakut-takuti. Padahal kami bukan pencuri. Kami hanya ingin mencangkul dan bukan mencuri kayunya. Hutan disana habis dan tidak ada pencurinya yg ditangkap.
Di Desa kami ada sekitar 1000 hentar tanah dalam wilayah yg dikuasai Perhutani. Setiap hektar dapat ditanami 10 kg benih bawang. Setiap kilo benih kami bayar Rp. 50 ribu. Matematika sederhana saja 1000×10 kg× lima puluh ribu rupiah berapa yang diterima mandor. Padahal diwilayah kami hanya dua orang mandor. Mereka bisa kaya-raya.
Ungkapan tulus petani ini semakin membuat saya geram melihat praktik oknum-oknum perhutani. Pantas bila Perhutani yg menguasai 2 jt hektar tanah di Jawa dalam kondisi “tidak sehat”. Dan Pantas bila Presiden pada puncak peringatan hari lingkungan hidup tgl 2 Agustus lalu juga menyoroti tajam masalah di Perhutani. Bahkan presiden mengatakan dengan keras perlunya melakukan tindakan koreksi mendasar (corrective action) terhadap kebijakan dan praktik pengelolaan hutan di Indonesia dan tentu termasuk hutan yg dikelola Perhutani.
Presiden yg juga seorang forester bahkan menanyakan dimana ada hutan jati Perhutani yg rakyatnya sejahtera? Setelah mengulang tiga kali pertanyaan kemudian peserta kompak mengatakan tak ada.
Kini kita berharap banyak pada Kebijakan Menteri Siti Nurbaya yang menyambut seruan corrective action dari Presiden. Kebijakan P39/2017 yg banyak ditentang oleh oknum-oknum Perhutani itu harus dijalankan dengan sepenuh hati. Tak boleh lagi surut semangatnya. Kebijakan tersebut dengan tegas akan membaikkan keadaan petani di pulau jawa yg sangat miskin tanah untuk bisa hidup sejahtera. Kebijakan itu juga dapat menolong Perhutani karena seluruh bagi hasil dengan petani akan transparan dan masuk langsung ke rekening Perhutani. Tak akan ada lagi celah bagi oknom-oknum yg memeras petani untuk keuntungan dirinya sendiri.
Dalam P39 tersebut apabila Kelompok tani menanam kayu maka mereka dapat 70% dan Perhutani 30%. Kegiatan Budidaya, Petani dapat 80% dan Perhutani 20%. Kegiatan Wisata Alam, Petani dapat 90% dan Perhutani 10%. Kelompok tani juga mendapat pengakuan secara legal dari Menteri melalui Dirjen Perhutanan Sosial. Setiap anggota kelompok mendapat luasan yang sama dan terpetakan dengan baik. Petani tak boleh menjual tanah tersebut sebab mereka bukan pemilik atas tanah. Kekhawatiran petani akan memindah-tangankan tanah sudah diantisipasi dengan baik dalam aturan itu. Secara objektif saya menilai kebijakan P39 telah memenuhi unsur keadilan dan kelestarian. Tak ada alasan untuk menolaknya.
Kita perlu menegukan dukungan pada Dirut Perhutani yg baru bersama jajarannya agar teguh dalam mendukung kebijakan yg baik ini. Dalam beberapa kali dialog saya dengan mereka tampak komitmen kuat untuk melakukan pembenahan mendasar di Perhutani. Saya bahkan secara serius mengakatakan pada pak Dirut Perhutani sebagai berikut “Bila Pak Dirut berhasil hadapi turbulensi ini maka tolong tulislah buku karena banyak orang akan belajar dari pengalaman tersebut”
Saya berharap Jajaran Dewan Pengawas Perhutani yang baru juga sungguh-sungguh untuk melakukan corrective action dalam tubuh Perhutani sebagaimana amanat Presiden.
Saya yakin mereka yg menolak P 39 belum sungguh2 memahami isi dan spirit corrective action yg terkandung dalam aturan tersebut. Bila sudah mengerti dan juga tetap menolak maka perlu dipertanyakan komitmennya untuk membangun hutan jawa yg lestari, petani sejahtera serta perhutani sehat kembali.
Chalid Muhammad
Penasehat Senior KLHK
Artikel nya sangat menarik sekali, thanks