
Pemerintah harusnya fokus tangani Pandemi Covid-19, percepat pemulihan ekonomi rakyat yang terguncang akibat pandemi, perkuat upaya pemberantasan korupsi, tangani kelangkaan pupuk subsidi bagi petani, realisasikan reforma agraria. Tapi Pemerintah malah mengesahkan OMNIBUS LAW atau CIPTA KERJA menjadi Undang-Undang. Omnibus Law adalah sebuah konsep pembentukan Undang-Undang utama untuk mengatur masalah yang sebelumnya diatur dalam UU atau satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU.
Sebelumnya Draf Omnibus Law telah dikritisi dan di tolak oleh berbagai pihak karena banyak sisi mudhoratnya daripada manfaatnya bagi kepentingan kemaslahan rakyat. Pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal ketenagakerjaan, penegakan hukum dan lingkungan hidup. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi.
Banyak pihak meyakini bahwa Omnibus Law bukan menambah lapangan kerja, tapi memotong / meggilas hak-hak pekerja. Setali tiga uang, arus investasi yang terlalu mudah juga membuat lingkungan hidup makin terancam karena akan banyak muncul usaha-usaha pertambangan, perkebunan, dan industri ekstraktif yang akan membabat hutan untuk kepentingan INVESTASI. Selain itu Omnibus Law juga mengancam eksistensi tanah adat di luar Jawa, jadi Omnibus Law bukan hanya soal tenaga kerja saja. Implikasinya banyak sekali di semua sektor.

Salah satu pasal bermasalah dalam Norma Omnibus Law yakni tentang lingkungan hidup. Pertama, pasal 88. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) bisa menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan. Namun, Pemerintah dan DPR justru menghapus aturan ini. Berikut bunyi pasal 88 UU PPLH, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Kini, pemerintah telah menghapus ketentuan di kalimat terakhir. Dengan demikian bunyi pasal 88 adalah: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.” Kemudian pasal 93 dihapus. Padahal, di dalamnya memuat tentang partisipasi publik. Di dalam ayat 1, pasal ini menyatakan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara. Namun, kini pada UU Cipta Kerja telah dihapus.
Permasalah lain di dalam pasal–pasal Omnibus Law tentang penegakan hukum, di mana banyak pasal-pasal yang menghapuskan sanksi pidana bagi korporasi yang melanggar ketentuan yang berlaku diganti dengan sanksi Administrasi. Misalnya penghapusan Pasal 105 dalam UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, berikut bunyi pasal 105 UU Perkebunan, “Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budidaya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Saat ini melalui Omnibus Law telah menghapus pasal 105. Penghapusan pasal pidana didalam UU Perkebunan dan UU PPLH akan berpotensi besar menimbulkan kerusakan lingkungkan yang semakin masif, pelanggaran HAM dan perampasan tanah-tanah adat yang berada disekitar izin perkebunan yang dikelola oleh korporasi.
Atas berbagi pertimbangan untuk kemaslahan rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan maka UU Omnibus Law harus dibatalkan secepatnya.
#AtasiCovidCabutOmnibus
#BatalkanOmnibuslaw
#MosiTidakPercaya
#JanganSampaiterbit
#BatalkanUUciptakerja
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Muhammad Ichwan | Direktur Eksekutif PPLH Mangkubumi | +62 815-5650-8591
**PPLH Mangkubumi adalah NGO yang bergerak dalam isu lingkungan hidup dan kehutanan dengan basis di Jawa Timur yang bekerja dengan masyarakat yang berbasis hutan untuk memperkuat kapasitas mereka dalam pemantauan dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. PPLH Mangkubumi merupakan anggota Jaringan Pemantauan Independen Kehutanan (JPIK) dan melakukan kerja-kerja pemantauan illegal logging, penguatan masyarakat terhadap akses kelola hutan, dan advokasi kebijakan kehutanan. Informasi lebih lanjut www.pplh-mangkubumi.or.id