Yogayakarta, 14 September 2020—Pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal paling berdampak pada masyarakat adat/lokal. Dampak tersebut antara lain krisis ekologi berupa bencana alam; hilangnya sumber penghidupan akibat penutupan akses (enclosure) atau bahkan perampasan (dispossession) tanah oleh pelaku usaha kehutanan; serta munculnya konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh karena itu, masyarakat adat/lokal sudah selayaknya turut serta dalam melakukan pemantauan pengelolaan hutan, pengolahan kayu, serta peredaran maupun perdagangan kayu. Praktek tata kelola kehutanan yang buruk dapat diminimalisir melalui pemantauan independen oleh masyarakat adat/lokal melalui mekanisme Pemantauan Independen dalam kerangka kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK.
Bruno Cammaert, Forestry Officer FAO-EU FLEGT Programme regio Asia dan Pasifik untuk bidang kehutanan, dalam sambutannya mengatakan bahwa FAO mendukung kegiatan Pemantau Independen termasuk salah satunya melibatkan komunitas adat dan lokal dalam kegiatan pemantauan kehutanan secara independen.
“Untuk memperkuat SVLK, Pemantau Independen juga perlu untuk mempromosikan industri kehutanan yang patuh terhadap peraturan. Sehingga dapat menggambarkan secara utuh, sisi positif dan negatif dari perjalanan SVLK” ungkap Bruno.
SVLK yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 30 tahun 2016 merupakan inisiatif Indonesia untuk menjamin produk kayu berasal dari sumber yang legal dan lestari. Kebijakan ini salah satunya bertujuan untuk mengurangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal.
Secara ekonomi, dengan adanya SVLK, nilai ekspor kayu Indonesia meningkat. Sejak SVLK diberlakukan, ekspor kayu melejit tajam. Tahun 2013 nilai ekspor kayu Indonesia mencapai US$ 6 miliar; tahun 2016 meningkat menjadi US$ 9,26 miliar; dan tahun 2019 melejit menjadi US$ 11,62 miliar. Artinya dengan keberadaan SVLK tidak membuat performa ekspor produk kayu kita menurun, tapi bahkan meningkat tajam.
Namun satu dekade SVLK berjalan, masih saja kita temui praktek-praktek pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal. Satu bulan lalu, Balai Gakkum Jabalnusra Kementerian LHK menangkap 175 m3 kayu merbau dan meranti ilegal yang berasal dari Maluku. Satu tahun lalu, Kementerian LHK juga menangkap 384 kontainer kayu merbau ilegal dari Papua di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan 57 kontainer di pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar.
Muhamad Kosar, Dinamisator JPIK mengatakan dalam kurun waktu 2011 hingga awal tahun 2020, JPIK telah melakukan pemantauan pada konsesi dan industri kehutanan sebanyak 107 unit managemen dan melaporkan hasil pemantauan tersebut kepada pihak yang terkait dengan SVLK, penegak hukum, termasuk Gakkum KLHK dan Kepolisian sebanyak 118 laporan.
“Kami masih melihat adanya kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum, serta masih minimnya dukungan dalam kegiatan pemantauan. Hingga saat ini pemantau independen belum bisa mengakses data dan informasi terkait peredaran kayu. Selain itu, belum ada mekanisme pendanaan untuk mendukung keberlanjutan pemantauan.
Penangkapan sejumlah kayu merbau dan meranti ilegal di dua pelabuhan tersebut belum tuntas penanganannya. Kasus tersebut menjadi bukti perlunya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum oleh seluruh pihak yang terkait dengan disertai peningkatan koordinasi dan transparansi dalam seluruh proses hukum yang berjalan.
Yang menarik, kasus-kasus tersebut berawal dari informasi dan laporan masyarakat adat/lokal baik di daerah hulu maupun daerah hilir. Dalam lokakarya dan sosialisasi pelaksanan program (inception meeting) ini, Muhammad Nur dari Balai Gakkum Jabalnusra, menegaskan bahwa 99% kasus ilegal logging yang ditangani Gakkum bersumber dari laporan masyarakat. “Selama ini mayoritas kasus ilegal logging yang ditangani Gakkum melibatkan korporasi besar.” Sehingga, pemantauan terintegrasi hulu dan hilir penting dilakukan oleh masyarakat adat/lokal untuk memastikan ketelusuran kayu.
Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 30 tahun 2016, pada Bab III diterangkan tentang pemantauan yang bertujuan untuk menjaga akuntabilitas dan kredibilitas SVLK. Pada pasal 23 poin a disebutkan, yang dapat menjadi pemantau independen adalah masyarakat yang tinggal/berada di dalam atau sekitar areal pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau pemilik hutan hak berlokasi/beroperasi.
Hendy Saputra, salah satu pimpinan Lembaga Sertiifkasi PT. TRIC mengatakan bahwa pemantauan hutan hendaknya jangan hanya berhenti di titik SVLK saja, karena SVLK hanya salah satu alat untuk perbaikan tata kelola kehutanan. Jadi, pelaporan tidak hanya ditujukan ke LS saja. Kelemahan yang belum diatur dalam rencana revisi Permen LHK No 30 Tahun 2016 yaitu pengaturan tentang mudahnya industri kehutanan berpindah dari LS satu ke LS yang lain karena dibekukan atau dicabut sertifikatnya.
Muhammad Ichwan, Direktur PPLH Mangkubumi menyatakan dalam sistem tata usaha kayu yang berlaku saat ini, ada tiga dokumen yang menyertai kayu yaitu Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu Bulat atau (SKSHH) Kayu Bulat, SKSHH Kayu Olahan, dan DKP untuk kayu rakyat. Sedangkan temuan dilapangan, masih terjadi praktek pelanggaran dalam ekspor. Misalnya pemalsuan dokumen V-Legal. Kami mendorong, V-Legal berlaku sebagai dokumen sahnya hasil hutan kayu untuk ekspor setara dengan SKSHH. Dengan demikian, jika ada pelanggaran, maka akan ada sanksinya.
Dalam konteks Permen LHK Nomor 30 tahun 2016, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (JPIK) Mangkubumi, sebuah Lembaga pemantau independen kehutanan dengan dukungan dari FAO-EU FLEGT Programme, bersama dengan masyarakat adat/lokal dari 4 provinsi yaitu Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Papua Barat, dan Jawa Timur, akan melakukan pemantauan hutan dan industri pengolah kayu selama satu tahun ke depan. Pendekatan hulu hilir akan dipakai untuk pemantauan ini. Daerah hulu di Papua, Kalimantan dan Sulawesi berhubungan erat dengan daerah hilir di Jawa Timur. Tujuan utama dari pemantauan ini untuk memerangi illegal logging, mempromosikan kayu legan dan berkontribusi nyata bagi kelestarian hutan.
Untuk mengawali rencana tersebut, PPLH Mangkubumi menyelenggarakan kegiatan Inception Meeting bertajuk Memperkuat Tata Kelola Kehutanan melalui Pemantauan SVLK oleh Masyarakat Adat dan Lokal di 4 Provinsi di Indonesia yang dilaksanakan pada 14 September 2020 bertempat di Hotel Grand Senyum Yogyakarta. Dalam kegiatan tersebut, menghadirkan perwakilan dari FAO-EU FLEGT Programme, Kementerian LHK, Pemerintah Daerah, Penegak Hukum, Asosiasi Pengusaha Kayu, Lembaga Sertifikasi, LSM, dan Pemantau Kehutanan dari berbagai daerah.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Muhammad Ichwan | PPLH Mangkubumi | +62 815-5650-8591
M. Kosar | JPIK | +62 813-1872-6321
Ivonne Melisa | FAO EU FLEGT Programme Indonesia | +62 812-1997-124
Profil Lembaga
- PPLH Mangkubumi adalah NGO yang bergerak dalam isu lingkungan hidup dan kehutanan yang bekerja dengan masyarakat yang berbasis hutan untuk memperkuat kapasitas mereka dalam pemantauan dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan fokus pada pemantauan hutan dan sungai. PPLH Mangkubumi merupakan anggota Jaringan Pemantauan Independen Kehutanan (JPIK) yang berbasis di Jawa Timur dan melakukan kerja-kerja pemantauan hutan dalam konteks SVLK, pemberdayaan masyarakat desa hutan, dan advokasi kebijakan kehutanan. Informasi lebih lanjut www.pplh-mangkubumi.or.id
- JPIK adalah Jaringan yang fokus mewujudkan tata kelola hutan yang adil dan berkelanjutan yang terjamin melalui pemantauan independen. Dideklarasikan tanggal 23 September 2010 oleh 29 organisasi masyarakat sipil dari yang tersebar dari Aceh sampai Papua dalam sebuah pertemuan lokakarya FLEGT, 21-23 September 2010, di Jakarta. Informasi lebih lanjut www.jpik.or.id
- Program FAO-EU FLEGT adalah inisiatif global berbasis permintaan yang menyediakan dukungan teknis dan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan dalam mencapai tujuan Rencana Aksi FLEGT Uni Eropa (UE). Program ini didanai oleh UE, Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Swedia, dan Departemen Pembangunan Internasional Inggris Raya. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi (http://www.fao.org/in-action/eu-fao-flegt-programme/en/)